Jumat, 31 Agustus 2012

Faktur Pajak PKP Pedagang Eceran


PKP Pedagang Eceran
Berdasarkan Pasal 1 Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-65/PJ/2011, Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran (PKP PE) adalah Pengusaha Kena Pajak yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dengan cara sebagai berikut:
  1. melalui suatu tempat penjualan eceran, seperti toko dan kios atau langsung mendatangi dari satu tempat konsumen akhir ke tempat konsumen akhir lainnya;
  2. dengan cara penjualan eceran yang dilakukan langsung kepada konsumen akhir, tanpa didahului dengan penawaran tertulis, pemesanan tertulis, kontrak, atau lelang; dan
  3. pada umumnya penyerahan Barang Kena Pajak atau transaksi jual beli dilakukan secara tunai dan penjual atau pembeli langsung menyerahkan atau membawa Barang Kena Pajak yang dibelinya.
Pengertian PKP PE ini juga terdapat dalam Pasal 20 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012 dengan redaksi yang sama. Peraturan Pemerintah ini kemudian memberikan perluasan pengertian Pedagang Eceran yang diatur dalam Pasal 20 ayat (3) di mana ditegaskan bahwa Termasuk dalam pengertian Pedagang eceran adalah Pengusaha Kena Pajak yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak dengan cara sebagai berikut:
  1. melalui suatu tempat penyerahan jasa secara langsung kepada konsumen akhir atau langsung mendatangi dari satu tempat konsumen akhir ke tempat konsumen akhir lainnya;
  2. dilakukan secara langsung kepada konsumen akhir, tanpa didahului dengan penawaran tertulis, pemesanan tertulis, kontrak, atau lelang; dan
  3. pada umumnya pembayaran atas penyerahan Jasa Kena Pajak dilakukan secara tunai.
Contoh tempat penjualan eceran yaitu toko dan kios. Contoh tempat penyerahan jasa secara langsung kepada konsumen akhir yaitu gerai dan kios. Sementara itu, yang dimaksud dengan “konsumen akhir” adalah pembeli yang mengkonsumsi secara langsung barang tersebut, dan tidak digunakan atau dimanfaatkan untuk kegiatan produksi atau perdagangan
Faktur Pajak PKP Pedagang Eceran
PKP PE sebagaimana PKP yang lain wajib memungut PPN dan membuat Faktur Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang dilakukannya. Namun demikian, bagi PKP PE diberikan ketentuan khusus tentang Faktur Pajak yang harus dibuatnya. Ketentuan khusus ini adalah Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-58/PJ/2010 tentang Bentuk Dan Ukuran Formulir Serta Tata Cara Pengisian Keterangan Pada Faktur Pajak Bagi Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran.
Faktur Pajak PKP PE harus diisi secara lengkap, jelas, dan benar dengan  paling sedikit harus memuat keterangan :
  1. nama, alamat, dan NPWP yang menyerahkan Barang Kena Pajak;
  2. jenis Barang Kena Pajak yang diserahkan;
  3. jumlah Harga Jual yang sudah termasuk PPN atau besarnya PPPN dicantumkan secara terpisah;
  4. PPnBM yang dipungut; dan
  5. kode, nomor seri dan tanggal pembuatan Faktur Pajak.
Faktur Pajak bagi PKP PE dapat berupa bon kontan, faktur penjualan, segi cash register, karcis, kuitansi, atau tanda bukti penyerahan atau pembayaran lain yang sejenis. Adapun bentuk dan ukurannya disesuaikan dengan kepentingan PKP PE. Pengadaan Faktur Pajak pun dilakukan sendiri oleh PKP PE.
Tidak seperti Faktur Pajak yang biasa, kode dan nomor seri Faktur Pajak PKP PE dapat berupa nomor nota, kode nota, atau ditentukan sendiri oleh PKP PE.
Faktur Pajak khusus yang dibuat oleh PKP Pedagang Eceran ini dibuat dalam rangkap 2, yaitu lembar pertama untuk pembeli dan lembar kedua untuk arsip PKP Pedagang Eceran. Faktur Pajak dianggap telah dibuat dalam 2 (dua) rangkap atau lebih dalam hal Faktur Pajak tersebut dibuat dalam 1 (satu) lembar yang terdiri dari 2 (dua) atau lebih bagian atau potongan yang disediakan untuk disobek atau dipotong.
Lembar ke-2 Faktur Pajak dapat berupa rekaman Faktur Pajak dalam bentuk media elektronik yaitu sarana penyimpanan data, antara lain: diskette, Digital Data Strorage (DDS) atau Digital Audio Tape (DAT) dan Compact Disc (CD).


Airport Tax, apakah benar itu pajak? - Analisis istilah "Airport Tax" dengan substansi pajak

Penulis menulis artikel ini karena tertarik dengan tweet-tweet dari akun twitter @PajakMania tentang airport tax. Dan tulisan ini sudah diolah dari tweet-tweet yang ada. 

Bagi yang pernah naik pesawat mungkin pernah mendengar istilah Airport Tax atau bahkan sering mendengarnya. Ketika Airport Tax ramai dibicarakan karena akan digabungkan dengan harga tiket pesawat, mari kita bahas apakah Airport Tax itu benar-benar pajak?


Setelah check in di loket maskapai, untuk masuk ke ruang boarding pass kita dimintai biaya lagi untuk akses terbang yang bernama Passenger Sevice Charge. Di loket seperti inilah kita membayar sejumlah uang untuk bisa mendapatkan akses terbang.

Gambar 1

Setelah membayar sejumlah uang yang diminta, tiket kita di staples dengan kertas Passenger Service Charge yang bentuknya seperti ini


Gambar 2

Setelah masuk ke ruang boarding pass, di kanan kiri kita banyak toko-toko seperti ini


Gambar 3

Gambar 4

Ooooooh jadi setelah bayar kita dapat akses terbang dan akses ke toko-toko ini. Ketika di bandara kita hanya menemui toko-toko seperti ini ketika sudah membayar Passenger Service Charge. Jadi itulah makna Passenger Service Charge, untuk menikmati fasilitas yang lebih luas.

Sekarang mari kita lihat dasar hukum Airport Tax. Pada foto kertas Passenger Service Charge di atas tertera tulisan "Bandara Soetta, Passenger Serv Charge, SK Direksi No KEP. 15.01.01 dst". Jadi yang mengeluarkan ya airport tersebut, bukan DJP. Kenapa Airport Tax beda-beda tiap bandara? Ya karena SK direksinya beda-beda tiap bandara. Airport tax yang merupakan nama keren dari Passeger Service Charge tidak menggunakan tarif tapi menggunakan nominal rupiah langsung. 
Lebih mudah menyebut "Passenger Service Charge" atau "Airport Charge"? Kalau saya sih "Airport Tax". Di berita-berita juga lebih sering disebut airport tax. Apa bukti otentik istilah Airport Tax lebih terkenal daripada Passenger Service Charge? Ini dia....

Gambar ini merupakan isi dari Peraturan Direktur Jenderal Pebendaharaan No PER-21/PB/2008 Pasal 19 ayat 3c yang memuat istilah Airport Tax. Peraturan tersebut bisa dilihat di sini.
Sedangkan untuk aturan dari DJP bisa kita lihat di sini

Jadi jelas nama resminya Passenger Service Charge dan bukanlah pajak, tetapi lebih terkenal istilah Airport Tax. Jika Airport Tax disatukan dengan harga tiket, penumpang tidak perlu mengeluarkan uang lagi di bandara.
Berikut adalah inti topik pembahasan mengenai istilah "Airport Tax" dengan substansi pajak. Apa saja sifat pajak? Yaitu: diatur undang-undang, mengikat, dipaksakan, wajib, tidak dapat kontraprestasi langsung.
Untuk Airport Tax:


  1. Diatur oleh peraturan bandara tersebut.
  2. Mengikat, kalau tidak bayar ya tidak boleh terbang.
  3. Tentu dipaksakan, kalau tidak bayar tidak boleh terbang juga, dan
  4. Kontraprestasi langsung pasti dapat, beda dengan pajak yang tidak dapat kontraprestasi langsung
Kesimpulannya adalah apa yang banyak orang sebagai "Pajak" belum tentu pajak yang sesungguhnya. Airport Tax bukanlah pajak.
Apa perlu kita bahas juga tentang "Pajak Jadian" benar-benar pajak atau bukan? hehehe...
Sekian ulasan yang dapat saya sampaikan mengenai Airport Tax. Untuk kritikan, saran dan masukan bisa disampaikan kepada saya.
Tulisan-tulisan di atas merupakan rangkuman dari tweet-tweet akun @PajakMania yang sudah saya susun sedemikian rupa.
Terima kasih :)

Selasa, 28 Agustus 2012

MAPPING

PEMETAAN (MAPPING) WP BADAN
1.     MAPPING
Definisi Mapping dalam Buku Panduan Evaluasi Kinerja Penerimaan Pajak, Direktorat Jenderal Pajak Tahun 2007 menyatakan bahwa mapping adalah :“Mapping WP Badan adalah pengelompokan Wajib Pajak Badan menurut subyek, obyek, sektor/subsektor, wilayah/lokasi usaha, group/cabang, dan  kelompok lain sesuai kebutuhan/ keunggulan yang terdapat di masing-masing unit kantor.”

A.     Subjek Pajak
Pengelompokan berdasarkan subjek pajak, dapat berupa pengelompokan menurut:

  1. Bentuk usaha, yakni mengelompokan WP menurut status bentuk usaha seperti; PT, Firma, BUT, CV, Yayasan, Koperasi, BLU (Badan Layanan Umum), Kantor Perwakilan Dagang Asing (Representative Office), JO, KSO.
  2. WP Efektif dan WP Non Efektif (NE).
  3. WP Efektif non filer (tidak memasukkan SPT selama 1 tahun) dan stop filer(tidak memasukkan SPT selama 2 tahun/lebih).
  4. WP/PKP Patuh sesuai Surat Keputusan.
  5. WP Lokasi dan WP Domisili.
  6.  WP yang menggunakan pembukuan dalam bahasa Inggris dan valuta asing.
  7. Pengusaha Kena Pajak dan non PKP.
  8. Pengelompokan WP per 10% penerimaan terbesar  (WP kelompok 10% lapisan pertama, kedua dan seterusnya).
  9. WP Penunggak Pajak Terbesar.
  10. WP Bendaharawan.
  11. WP diaudit atau tidak diaudit oleh KAP.
  12. WP yang sudah melakukan revaluasi.
  13. WP daerah terpencil.
  14. WP dengan perlakukan khusus.
B.     Objek Pajak
Pengelompokan WP Badan menurut objek pajaknya, dapat berupa pengelompokan menurut:
  1. Jenis Kewajiban Perpajakan (PPh Pasal 21, 22, 23, 25, 26, 29, 4 ayat(2), PPN, PPnBM, PBB dan BPHTB.
  2. Final dan Non Final.
  3. Objek Norma Khusus (PPh Pasal 15)
                      a)     Penerbangan dan pelayaran.
                      b)     Drilling
                      c)     Kantor Perwakilan Dagang Asing
                      d)     Deem Salary/ Expatriate
            4.  Objek Pajak Khusus
                      a)     Kontrak Karya
                      b)     Kontrak Bagi Hasil
                      c)     Kontrak Karya Pengusahaan Batu Bara
                      d)     Objek pajak khusus lainnya.

C.    Sektor dan Subsektor
Pengelompokan menurut sektor dan subsektor dominan, dapat berupa :
  1.       Sektor/sub sektor usaha yang dominan,
  2.    Kelompok Usaha Tertentu,Yaitu pengelompokan Usaha Tertentu yang dianggap penting seperti pengecer, distributor, agen tunggal, dan lain-lain.
  3.     Kelompok WP menurut kelompok industri yang penting seperti Lembaga Keuangan (Perbankan, Non Bank,  Asuransi, Consumer Finance), industri otomotif, dan lainnya.
  4.       Kelompok Usaha menurut kelompok Asosiasi/ Paguyuban/ Perkumpulan.

    D.    Wilayah/Lokasi Usaha
    Pengelompokan menurut wilayah/lokasi usaha, dapat berupa:

    1. WP yang berada di Kawasan Industri, Kawasan Berikat, FTZ, KEK, dan lain-lain.
    2. Wilayah Perkebunan, Pertambangan, Kehutanan, Kawasan Industri, Pusat-Pusat Perdagangan, Kawasan Berikat dan lain lain.
    3. WP yang berada di Pusat-pusat perdagangan (misal : Mal, ITC) dan non pusat perdagangan.
    4. Wilayah administrasi pemerintahan (Kelurahan, Kecamatan, Kabupaten/Kota).

    E.     WP Group/Cabang di wilayahnya.
    Pengelompokan menurut WP Group/Cabang, termasuk konglomerasi.

    2.     EVALUASI MAPPING
    Setelah pembuatan mapping, selanjutnya dilakukan evaluasi terhadap hasilmapping tersebut, yaitu mengidentifikasi kelompok-kelompok mana yang potensial untuk ditindaklanjuti.

    3.     TINDAK LANJUT MAPPING
    Tindak lanjut mapping yang dilaksanakan akan bermuara ke penerimaan dan perbaikan administrasi.
    Tindak lanjut yang menyangkut penggalian potensi terhadap masing-masing WP harus dilakukan melalui pembuatan Profile WP dan benchmark.
    4.     FILING
    Hasil mapping merupakan living document yang harus selalu di update dan disimpan dalam bentuk file elektronik pada database KPP yang bersangkutan.

    sumber: disini

    Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

     
    Powered by Blogger